Penulis konten, editor, dan blogger yang sudah menekuni dunia tulis-menulis sejak 2010. Saya percaya bahwa tulisan bisa jadi ruang berbagi, ruang berpikir, sekaligus ruang pengingat untuk banyak hal yang mudah terlupa.
Norma Sosial yang Terus Dipertahankan Meski Sudah Tak Relevan
Senin, 9 Juni 2025 20:35 WIB
Mengapa norma sosial yang sudah usang masih dipertahankan dan dampaknya bagi kebebasan serta keadilan dalam kehidupan modern.
***
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia hidup berdampingan dengan aturan tak tertulis yang disebut norma sosial. Norma ini jadi panduan tentang apa yang dianggap benar, sopan, atau pantas dalam masyarakat.
Contohnya, memberi salam saat bertemu, duduk rapi di ruang tunggu, atau menghormati orang yang lebih tua. Hal-hal ini mungkin terlihat sepele, tapi sebenarnya berperan besar menjaga keteraturan hidup bersama.
Namun, tidak semua norma yang diwariskan dari masa lalu masih cocok dengan situasi sekarang. Dunia terus berubah. Gaya hidup, cara berpikir, dan struktur masyarakat juga ikut berubah. Tapi anehnya, ada norma yang tetap dipertahankan mati-matian. Padahal, kalau dipikir-pikir, fungsinya sudah tak lagi relevan.
Kenapa begitu ya? Mengapa norma yang sudah tak sesuai zaman masih dianggap suci dan tak boleh diganggu gugat?
Norma Sosial: Fungsinya Dulu, Dampaknya Sekarang
Dulu, norma sosial dibentuk agar hidup bermasyarakat lebih teratur. Setiap orang tahu batasan perilaku. Apa yang boleh, apa yang sebaiknya tidak dilakukan. Tujuannya jelas, yakni menjaga stabilitas dan harmoni antarwarga. Dalam masa itu, norma bisa jadi alat pengendali yang cukup efektif. Semua orang patuh, karena ya, seperti itulah cara hidup yang dianggap baik. “Normal”.
Tapi zaman berubah. Kehidupan hari ini jauh lebih kompleks. Pilihan hidup semakin beragam. Tapi, tidak semua norma ikut menyesuaikan zaman. Beberapa justru jadi beban. Alih-alih membantu, malah membatasi ruang gerak. Norma yang dulu terasa wajar, sekarang terasa mengekang.
Contohnya banyak. Tapi faktanya, norma-norma seperti ini masih tetap saja diwariskan begitu saja.
Contoh Norma yang Sudah Tak Relevan tapi Tetap Dipertahankan
Apa contohnya? Ada beberapa norma yang dulu mungkin terasa wajar, tapi sekarang rasanya mulai mengganggu.
Salah satunya soal peran perempuan di rumah. Masih banyak yang percaya bahwa perempuan harus bisa masak, bersih-bersih, dan mengurus rumah tangga. Anggapan ini berakar dari pembagian kerja zaman dulu, saat laki-laki bekerja dan perempuan di rumah. Tapi sekarang, banyak perempuan juga bekerja di luar rumah. Akhirnya, mereka harus menanggung beban ganda. Disuruh berkarier, tapi juga dituntut jadi ibu rumah tangga sempurna. Padahal, seharusnya pilihan peran itu bebas, bukan kewajiban yang dipaksakan.
Norma lain yang masih sering terdengar adalah soal usia menikah. Banyak yang menganggap kalau belum menikah di usia tertentu, berarti ada yang salah. Dulu, norma ini muncul karena alasan kesuburan dan tekanan sosial. Tapi sekarang, hidup tidak sesederhana itu. Banyak orang ingin menyelesaikan pendidikan dulu, membangun karier, atau belum siap secara mental. Menikah buru-buru malah bisa berujung pada masalah yang lebih besar.
Lalu ada juga anggapan bahwa pekerjaan kantoran lebih terhormat. Yang kerja di pabrik, jualan online, atau jadi seniman dianggap kurang mapan.
Padahal dunia kerja sudah berubah. Banyak orang justru lebih sukses dan bahagia saat memilih jalur yang tak biasa. Norma soal pekerjaan ‘terhormat’ ini sering bikin orang malu dengan pilihannya sendiri, padahal tak ada yang salah juga dari kerja sesuai minat dan kemampuan.
Satu lagi yang tak kalah penting. Norma bahwa anak harus selalu taat pada orang tua. Dulu, norma ini muncul untuk menjaga keharmonisan keluarga besar. Tapi kalau dijalankan tanpa batas, bisa menimbulkan relasi yang tidak sehat. Anak jadi merasa tidak punya suara. Semua keputusan harus tunduk pada keinginan orang tua, bahkan untuk hal-hal yang sangat pribadi. Padahal, setiap orang punya hak untuk mengatur hidupnya sendiri, termasuk anak yang sudah dewasa.
Mengapa Norma Ini Masih Bertahan?
Norma yang sudah tak relevan sering kali tetap dipertahankan karena kekuatan tradisi. Kalau sudah dari dulu seperti itu, orang cenderung mengikuti tanpa banyak tanya.
Alasannya simpel. Ya, karena memang begitu dari dulu.
Tradisi yang terus diulang lama-lama dianggap kebenaran mutlak, meski sebenarnya sudah tak lagi cocok dengan zaman.
Tekanan sosial juga punya peran besar. Saat seseorang mencoba berbeda atau menolak norma lama, reaksi dari sekitar bisa sangat keras. Dianggap durhaka, tidak sopan, atau melawan budaya. Dicibir, diolok-olok, bahkan sampai dibully.
Akibatnya, banyak orang memilih diam dan mengikuti arus. Takut dicap buruk lebih kuat daripada keinginan untuk berubah.
Selain itu, ada juga pihak-pihak yang diuntungkan oleh keberlangsungan norma tertentu. Misalnya, ada norma yang memberi lebih banyak ruang bagi pihak tertentu untuk “lebih berkuasa”. Kalau norma ini hilang, posisi nyaman itu akan ikut terganggu. Jadi, wajar kalau ada yang berusaha keras mempertahankannya.
Yang bikin makin sulit, ruang untuk membicarakan ulang norma-norma ini masih sangat terbatas. Diskusi soal perubahan sering dianggap tabu. Bahkan, kritik terhadap nilai lama bisa langsung ditolak tanpa dibahas lebih jauh. Padahal, tanpa ruang terbuka untuk bertanya dan berdialog, norma yang usang akan terus diwariskan tanpa sempat diperiksa kembali.
Apa Dampaknya jika Terus Dibiarkan?
Kalau norma yang sudah usang terus dipertahankan, dampaknya bisa terasa di banyak sisi. Salah satunya, orang jadi kehilangan kebebasan untuk menentukan jalan hidup sendiri. Banyak yang akhirnya hidup bukan karena pilihan, tapi karena tuntutan. Mereka takut melangkah karena khawatir dianggap menyimpang dari norma yang berlaku.
Di sisi lain, ketimpangan sosial jadi makin susah dibongkar. Norma lama sering kali memihak kelompok tertentu dan merugikan yang lain. Misalnya, norma yang mengutamakan pihak tertentu atau yang merendahkan profesi yang dianggap “tidak terhormat” tadi. Kalau dibiarkan, ketidakadilan ini terus berlangsung tanpa pernah diberi ruang untuk dibenahi.
Tekanan mental juga bisa muncul dari situ. Hidup dalam bayang-bayang harapan sosial yang tidak realistis bisa membuat orang stres, cemas, bahkan merasa tidak cukup baik. Konflik antar generasi pun tak bisa dihindari. Anak muda mulai mempertanyakan nilai-nilai lama, sementara yang lebih tua merasa norma itu harus dipertahankan.
Akhirnya, masyarakat jadi stagnan. Tidak ada ruang untuk berkembang atau mencoba hal baru. Semua harus sesuai jalur lama.
Padahal, dunia terus bergerak maju. Tanpa keberanian untuk mengevaluasi ulang norma, kita bisa tertinggal jauh dari perubahan yang sebenarnya bisa membawa kebaikan.
The Bottom Line is …
Sudah saatnya kita mulai merefleksikan ulang norma-norma yang selama ini dipegang erat. Bukan untuk memberontak atau menghapus semuanya, tapi untuk melihat mana yang masih relevan dan mana yang sebaiknya ditinggalkan. Dunia berubah, dan nilai-nilai sosial pun seharusnya bisa ikut menyesuaikan.
Tak semua norma perlu dibuang. Banyak juga yang tetap penting dan bermanfaat untuk kehidupan bersama. Tapi kalau ada norma yang justru mengekang, membuat hidup orang jadi sempit, atau memelihara ketidakadilan, wajar kalau dipertanyakan.
Pada akhirnya, norma dibuat untuk kebaikan manusia. Bukan manusia yang dituntut untuk mempertahankan norma.
Kalau norma sudah berubah jadi beban, mungkin sudah waktunya ditata ulang. Karena hidup bukan soal patuh pada aturan lama, tapi soal bertumbuh dengan adil.

Tukang nulis di mana-mana
0 Pengikut

Norma Sosial yang Terus Dipertahankan Meski Sudah Tak Relevan
Senin, 9 Juni 2025 20:35 WIBArtikel Terpopuler